Berkunjung ke Pulau Rote belum lengkap jika belum menyambangi Kampung
Ndao, sentra kerajinan tenun ikat khas Rote di Ba’a. Di kampung ini,
mayoritas penghuninya merupakan penduduk Pulau Ndao yang menetap di
Pulau Rote. Saat memasuki kampung, kami disambut kain-kain tenun yang
berjajar rapi di teras-teras rumah. Hampir seluruh penduduk kampung ini
bermata pencaharian sebagai pengerajin tenun ikat.
Kain tenun ikat
Rote Ndao telah ada sejak ratusan tahun silam. Sebelum mengenal kapas,
kain tenun dibuat dari bahan serat gewang. Tenunan yang dihasilkan
berupa sarung yang disebut Lambi Tei dan selimut yang disebut Lafe Tei,
dipakai sebagai pakaian harian maupun pakaian pesta.
Sebelum
mengenal zat pewarna dari produk industri, orang Rote menggunakan
pewarna tradisional seperti mengkudu, tarum, kunyit, dan lain
sebagainya. Saat ini, penenun Rote cenderung menggunakan zat pewarna
buatan dibanding pewarna tradisional. Sebenarnya, pada corak kain tenun
Rote hanya terdapat warna hitam, merah, putih dan kuning. Tetapi seiring
perkembangan zaman, banyak kain Rote yang mengalami modifikasi,
sehingga memiliki corak dan warna yang lebih beragam.
“Dulu, satu
kain tenun dibuat bisa sampai satu tahun karena harus buat benangnya
dulu, tapi sekarang karena sudah pakai benang pabrik, satu kain tenun
bisa jadi dalam satu bulan,” ungkap Yitdahlia Toelle, salah satu
pengerajin tenun ikat di Kampung Ndao, Ba’a.
Kain tenun bukan
hanya digunakan sebagai pakaian sehari-hari, tetapi juga memiliki arti
dan peranan penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat tradisional
Rote Ndao. Dalam upacara perkawinan adat Rote, kain tenun digunakan
sebagai kelengkapan busana pengantin, barang antaran dan penutup tempat
sirih saat meminang gadis.
Saat upacara kematian, kain tenun
dipakai untuk menutup jenazah, selain itu kain tenun juga dibentangkan
di bagian bawah plafon rumah untuk menaungi tempat tidur jenazah. Saat
jenazah diangkat keluar rumah untuk dimakamkan, kain tenun yang
dibentangkan diambil kembali dan disimpan oleh kepala suku.
Bagi
masyarakat tradisional Rote, menenun merupakan keahlian yang wajib
dimiliki oleh seorang wanita. Kedewasaan wanita Rote tak hanya diukur
oleh usia semata, melainkan juga dari kemampuannya mengikat motif,
mencelup dan menenun. Jika keahlian tersebut sudah dikuasai, maka wanita
tersebut dianggap pantas untuk berumah tangga.
“Kalau belum bisa menenun, belum boleh menikah,” ujar Yitdahlia.
Di
samping itu, kain tenun juga mencerminkan status sosial seseorang. Pada
masa lampau, orang Rote Ndao dapat mengetahui apakah seseorang
merupakan raja, kaum bangsawan, panglima perang, atau rakyat biasa dari
corak dan hiasan pada kain tenun yang dipakai.
Saat ini, pemakaian
kain tenun tak lagi mengacu pada status sosial. Kain tenun khusus
memang masih dipakai pada upacara-upacara adat, tetapi kini kain tenun
sudah banyak diproduksi sebagai cendera mata dalam beragam bentuk,
seperti tas, aksesoris dan ikat kepala.
Kami meninggalkan kampung
tersebut dengan sekantong kain tenun berayun-ayun dalam tentengan
tangan. Tentu saja, tenun ikat akan menjadi buah tangan yang unik bagi
kerabat di rumah. Sebelum kami pergi, Yitdahlia berpesan, “Kain tenun
itu jangan dicuci dengan sabun deterjen, pakai saja sampo warna hitam,
biar warnanya tidak pudar. Jangan juga dijemur di bawah sinar Matahari.
0 Comments