![]() |
Ritual Adat Bijalungu Hiupaana di Wanokaka |
Segera ganti jadwal liburan awal tahun anda dengan mengikuti ritual
adat yang unik dan satu-satunya di dunia: Bijalungu Hiupaana, yang di
selenggarakan warga Wanokaka, Sumba Barat di setiap akhir Januari.
Tanggal pastinya ditentukan oleh para Rato (pemimpin spiritual
Marapu) dengan melihat tanda-tanda alam serta berdasarkan perhitungan
bulan genap dan bulan terang. Bijal artinya turun atau pergi sedangkan
Hiupaana adalah nama sebuah hutan kecil, jadi Bijalalungu Hiupaana
berarti pergi ke hutan Hiupaana. Dinamakan demikian kerena puncak
upacara yang berpusat di kampong Waigalli ini memang di laksanakan di
hutan itu, tepatnya di sebuah gua kecil tak jauh dari kampong.
Pada malam sebelum upacara puncak, banyak benda-benda keramat yang
dikeluarkan untuk di sucikan. Para warga pun antri untuk mendapatkan
barkat para Rato lalu bergantian menari sepanjang malam.
Kerena pada dasarnya merupakan upacara menyambut musim baru maka
banyak ritual ramal-meramalnya, antara lain ritual penyembelihan ayam
oleh Rato (pendeta) Marapu dimana kondisi usus ayam mengindikasikan baik
buruknya hasil panen mendatang.
Adapula ritual mengamati Manu Wulla Manu Laddu, sebuah batu bertuah
yang menurut legenda merupakan pemberian penguasa langit kepada putrinya
yang menikahi pria bumi. Jika posisi batu dalam gua di hutan Hiupaana
ini rapat sempurna maka panen akan melimpah, jika sebaliknya terjadi
kemungkinan akan datang berbagai serangan penyakit.
Anda sudah meramal nasib? Silakan berpartisipasi dalam ritual Kabena
Kebbo (lempar kerbau). Dalam ritual ini, seekor kerbau muda dipilih
secara khusus sebagai hewan persembahan akan dihalau memasuki area
upacara. Bersamaan dengan itu, semua orang dipersilakan melempar sang
kerbau dengan buah pinang yang telah dibagikan. Jika mengenai dahi si
kerbau, pelemparnya dipercaya mendapat untung besar. Kena leher juga
pertanda baik. Perut dan kaki dipercaya sebagai bagian yang kurang baik.
Acara terus berlanjut dengan acara Teung (potong kerbau). Kerbau tadi
disembelih dan posisi jatunya mengindikasikan kondisi tahun itu. Jika
jatuh ke kanan berarti tahun yang baik, jika jatu ke kiri berarti
tahunnya kurang bagus. Selanjutnya daging si kerbau dipotong-potong lalu
di rebus dalam periuk suci yang telah dipersiapkan oleh seorang Rato.
Jika kuah rebusan membual-bual berarti panen bakal berlimpah, jika buih
kuah hanya sedikit berarti hasil panen kurang menggembirakan.
Dalam kultur masyarakat yang masih tradisional seperti di Sumba
Barat, prakiraan-prakiraan semacam ini di anggap penting kerena dengan
mengetahui kondisi musim masyarakat bisa mempersiapkan diri dengan
sebaik-baiknya. Musim yang baik berarti hidup bisa berjalan normal.
Kalau musimnya buruk? Siap-siap hidup hemat agar nantinya tak kesusahan.
Walau terkesan kuno, ada nilai-nilai luur yang tersirat dalam
ritual-ritual ini. Sebuah kebijakan yang mungkin telah banyak di lupakan
oleh kita-kita yang merasa diri orang modern.
Related Posts
- Menjelajahi Pulau Rinca di Kepulauan Komodo
- Pantai Rua di Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur
- Pantai Dewa di Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur
- Suasana Sawah Lembor di Kabupaten Manggarai Barat, NTT
- Kampung Ombarade di Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur
- Kampung Tambera di Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur
0 Comments