Rumah Adat di Kabupaten Sumba Barat |
RUMAH ADAT
Seperti kampung mereka, rumah orang Sumba terbagi dalam pengertian
rumah besar (uma kalada) dan selainnya. Dan seperti wanno kalada, uma
kalada juga merupakan rumah yang dibangun oleh nenek moyang pertama dan
dihuni turun temurun oleh generasiselanjutnya. Di rumah adat ini berdiam
arwah leluhur yang telah menjadi serupa dewa (marapu),dan dirumah ini
pula tersimpan harta benda pusakan milik keluarga bersangkutan. Semua
turunan pendiri rumah, baik yang masih berdiam disitu maupun yang telah
membangun hunian baru terikat dalam suatu hubungan kekerabatan yang di
sebut kabisu. Dalam satu kampung umumnya terdapat lebih dari
satu kabisu, masing-masing memiliki uma kalada tersendiri yang berfungsi
sebagai pusat kehidupan sosio-religius kelompok kabisu bersangkutan.
Rumah-rumah tradisional yang tidak termasuk kategori rumah adat disebut ana uma (jika dibangun kampung yang sama) atau uma ouma (jika
dibangun diluar kampung adat). Ana uma artinya anak rumah, yaitu cabang
sebuah rumah adat yang didirikan oleh nenek moyang yang lebih muda.
Sedangkan uma ouma berarti rumah kebun, karena awalnya memang dibangun
disekitar sawah dan ladang untuk keperluan pengawasan. Rumah-rumah
semacam ini tidak dianggap sebagai kediaman leluhur sehingga tidak
dijadikan pusat seremonial. Seremoni-seremoni penting dalam siklus hidup
penghuninya seperti perkawinan dan penguburan tetap dilaksanakan di
rumah adat utama, demikian pula dengan pemujaan-pemujaan tertentu.
Seperti disinngung sebelumnya, sebuah rumah adat
utama selalu menjadi milik sebuah kabisu. Dan dalam sebuah kampung yang
homogen (dihuni lebih dari satu kabisu), rumah adat kabisu yang lain
berdasarkan nama yang disandangnya. Nama sebuah rumah adat bisa
berdasarkan nama pendirinya, tapi lebih sering berdasarkan perang ritual
yang dijalankannya. Namadan fungsi rumah antara kampung yang satu
dengan yang lainnya juga berbeda-beda, terggantung upacara yang bisa
digelar di kampung tersebut. Sebagai contoh, dikampung Tambera (kec.
Loli) ada rumah bernama Uma Kalada Wogo milik klan Wee Lowo
yang bertugas sebagai penjaga mata air suci dan pemanggil hujan.
Sementara dikampung Dikita (kec. Tana Rigu) ada Umma Pulluna yang berperan menyampaikan pesan-pesan di antara para rato (jubir).
KONSEPSI ARSITEKTUR
MENURUT Salean yang dikutip A.A.Ray Geria dan I Gusti Ayu Armini (2010) dalam jurnal berjudul Arsitektur Tradisional Rumah Adat Sumba di Waikababak Kabupaten Sumba Barat,
arsitektur bukan hanya sekedar wujud dan perilaku budaya masyarakat,
tetapi merupakan penanda zaman yang dipengaruhi oleh tempat, iklim,
bahan, ilmu pengetahuan, teknologi, pemerintahan, kepercayaan dan
tradisi suatu masyarakat. Dan jika dicermati, keseluruhan rancangan
rumah adat Sumba merupakan refleksi norma dan ide-ide, adat istiadat dan
status sosial, pengelompokkan gender, kelompok kekerabatan dan tentu
saja keterkaitan dengan alam.
Ide-ide tentang kelompok kekerabatan, status sosial
dan adat istiadat, sudah terangkum dari pembahasan sebelumnya, dimana
bagi orang Sumba, rumah tradisional atau lebih tepat di sebut rumah
adat, bukan sekedar tempat tinggal semata tapi sekaligus berfungsi
sebagai identitas kelompok serta pusat kehidupan sosial dan seremonial.
Sementara ide tentang norma, pengelompokan gender dan keterkaitan dengan
alam akan terlihat pada uraian selanjtnya.
Rumah adat Sumba berbentuk panggung, dilengkapi
menara yang membumbung tinggi seolah hendak menggapai langit. Hal ini,
sebagaimana diyakini sebagian orang, merupakan pelambang hubungan
harmonis antara manusia dan Sang Pencipta. Rumah adat Sumba aslinya dib
angun tanpa paku, bagian-bagiannya ditautkan satu sama lain menggunakan
pasak serta tali kayu (kalere) atau rotan (uwe). Seluruh berat rumah
ditopang ole empat tiang utama (parii kalada) yang terbuat dari kayu-kayu khusus seperti masela, kawisu, lapale atau ulu kataka, serta tiang-tiang penyangga yang lebih kecil.
Keempat tiang utama, terutama tiang pertama didekat
pintu masuk, merupakan elemen arsitektur rumah adat Sumba yang paling
penting, setidaknya dari sisi religius. Masing-masing tiang dilingkari
cincin besar dari kayu (labe), sehingga jika dilihat secara
keseluruhan, tiang dan cincin ini agak mirip linggadan yoni, konsepsi
seksual Hindu yang melambangkan kesuburan. Dari sisi religius labe
berfungsi sebagai tempat meletakkan persembahan, sedangakan kegunaan
praktisnya adalah sebagai gelang anti tikus agar hewan pengerat tersebut
tidak bisa memanjat ke loteng tempat menyimpan hasil panen.
Masing-masing tiang utama memiliki nama dan fungsi
tersendiri. Beda kampung beda lagi namanya, tapi dari segi fungsi pada
prinsipny sama saja. Tiang yang terletak di sebelah kanan depan (parii urat)
biasanya merupakan tiang yang Paling diutamakan karena dipercaya
sebagai tempat lalu lalang marapu pendiri rumah. Melalui tiang ini
manusia dapat berhubungsn dengan leluhurnya untuk mencari jawaban atas
berbagai pertanyaan. Tiang kanan belakang merupakan kediaman roh-roh
leluhur yang lebih kemudian. Roh-roh ini dipercaya selalu mengawasi
pintu utama, sehingga ada pula yang menyebut tiang tempat mereka berdiam
sebagai tiang penjaga kabisu. Tiang ketiga yang terletak di sebelah
kiri depan dan tiang ke empat dibelakangnya memiliki makna yang kurang
lebih sama dengan pasangan mereka di sebelah kanan, tetapi ditujukan
untuk leluhur dari pihak perempuan (loka). Karena terletakdi dekat area
dapur, tiang keempat kerap pula dijuluki tiang penjaga api. Makna lain
keempat tiang utama adalah manifestasi empat arah mata angin: utara,
selatan, barat dan timur, dengan tungku api yang berada tepat
ditengahnya sebagai simbol matahari.
0 Comments