Ticker

6/recent/ticker-posts

Kebudayaan Kabupaten Kupang

Budaya Rote

Meskipun saat ini Rote Ndao telah merupakan sebuah kabupaten yang berdiri sendiri (Berpisah dari kabupaten Kupang sejak tahun 2002) dengan Ibukota kabupaten terletak di Baa. Dimana kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.731 km² dan berpenduduk sebanyak 76.352 jiwa (2000). Kabupaten ini terdiri atas 6 kecamatan.
Kepulauan Rote terdiri atas 96 pulau, 6 di antaranya berpenghuni. Wilayah ini beriklim kering yang dipengaruhi angin muson dan musim hujan relatif pendek (3-4 bulan). Bagian utara dan selatan berupa pantai dengan dataran rendah, sementara bagian tengah merupakan lembah dan perbukitan. pulau ini dapat dikelilingi dalam jangak waktu yang relatif singkat.
Namun demikian 35% penduduk Kabupaten Kupang adalah Etnis Rote yang berada di Oesao, Kupang Barat, Sulamu, Pitai, Takari, Kupang Tengah, Oebelo (Kupang Timur), Nekamese dan sebagainya. Karena itu dalam web ini tidak ada salahnya kami juga memaparkan tentang budaya Rote. Karena pada daerah-daerah tersebut juga berkembang budaya dan bahasa Rote sebagaimana budaya dan bahasa yang ada dan berkembang di tanah asalnya Pulau Rote Ndao. Sebelum kita mengenali Budayanya ada baiknya kita lebih dahulu mengenali daerah Rote secara singkat untuk menolong kita memahami budayanya secara komfrehensif.
Dari Kota Kupang, Kabupaten Rote Ndao ini bisa dicapai dengan angkutan laut maupun pesawat terbang. Lalu lintas barang dan jasa umumnya mengandalkan kapal feri yang setiap hari melayani rute Kupang-Baa sekitar empat jam. Rute lain, seperti Makassar dan Surabaya, dilayani oleh perahu dan kapal motor dari pelabuhan rakyat (Pelra), seperti Papela (Rote Timur), Oelaba (Rote Barat Laut), Batutua (Rote Barat Daya), dan Ndao (Pulau Ndao). Jalur udara sampai sekarang hanya seminggu sekali.

PEREKONOMIAN

Pertanian menjadi sumber ekonomi Rote Ndao yang nilai keseluruhannya Rp 213,2 miliar pada tahun 2002. Peran tanaman pangan 18,22% dari total pertanian yang menyumbang setengah kegiatan ekonomi, sementara peternakan 17,48% dan perikanan 12,22%. Dari 53.986 orang usia 15 tahun ke atas yang bekerja, mereka yang berkegiatan di pertanian tanaman pangan paling tinggi (62,46%) — terutama di Lobalain dan Rote Barat Laut — sedangkan perikanan meyumbang 5,74% dan peternakan 2,14%.
Luas lahan sekitar 53.797 hektare, 13.000 di antaranya sawah irigasi untuk padi gogo rancah. Produksi per hektar 4-5 ton atau rata-rata 23.697 ton per tahun. Di luar padi, tanaman yang cukup penting nilainya adalah kacang tanah biji besar yang berkadar kolesterol rendah, bawang merah, semangka, lombok, jagung, dan sorgum. Sebagian besar dihasilkan di Rote Barat Daya, Barat Laut, Timur, dan Pantai Baru.
Komoditas lain yang terkenal adalah lontar, kelapa, dan jambu mete. Dengan lahan sekitar 82.000 ha, dihasilkan gula rata-rata 200 ton per tahun. Penduduk biasanya mengolah nira lontar menjadi gula lempeng, gula semut, gula air, dan sopi. Sopi adalah minuman khas Rote Ndao yang merupakan fermentasi nira dan mengandung alkohol tinggi. Jika diolah lebih lanjut, hasilnya bisa dipakai alkohol medik.
Meskipun terpencil Rote memiliki lahan penggembalaan ternak. Sampai sekarang padang penggembalaan yang dimanfaatkan 20.512 ha atau sekitar 16% dari luas wilayah. Ini belum termasuk 40.000-an ha lahan tidur yang bisa dipakai untuk kegiatan itu. Sebagian besar merupakan padang rumput alam, terutama jenis andropogon, sedang pada lahan tidur merupakan rumput alam dan lahan kering dengan vegetasi semak belukar.
Sapi, kerbau, dan kuda banyak diternakkan di Rote Timur, Tengah, dan Barat Laut. Adapun kambing, domba, babi, dan unggas-ayam dan itik- lebih merata di seluruh kecamatan. Sampai tahun lalu, populasi sapi 19.277 ekor, kerbau 10.524 ekor, dan kuda 4.095 ekor. Ketiganya menjadi komoditas yang dijual ke Jakarta dan Makassar melalui Kupang. Hingga Februari 2004, "ekspor" sapi potong 1.336 ekor, kerbau 1.000 ekor, dan kuda 350 ekor. Untuk pasar Jawa, kuda diperlukan untuk hewan penarik, sedang di Makassar sebagai kuda beban di daerah yang belum terjangkau transportasi darat.
Beternak merupakan tradisi orang Rote sejak dulu. Sistem pemeliharaan pun masih tradisional, dilepas bebas di alam terbuka dan dikandangkan kalau ada keperluan. Sebagai daerah peternakan, keperluan daging pasar lokal sudah terpenuhi. Sebelum lepas dari kabupaten induk, daerah ini merupakan penghasil tingkat provinsi.
Komoditas ternak rupanya mengalami sejumlah masalah. Selain pola pemeliharaan, kondisi alam membuat suplai pakan dan air pada musim kemarau menurun. Umumnya sungai ada di bagian yang rendah. Debit air di musim kemarau amat kecil, bahkan banyak yang kering karena daerah tangkapan air (hulu) sungai tidak berhutan. Kendala lainnya adalah kerugian akibat wabah penyakit hewan seperti septihemia epizootica (SE) yang menyerang sapi dan kerbau dan hog cholera pada babi. Dikarenakan banyak jalan yang belum diaspal, biaya transportasi dari kecamatan ke pelabuhan menjadi tinggi. Di sisi lain, angkutan laut (untuk ternak) ke Kupang hanya mengandalkan feri. Selain itu, pencurian, modal peternak yang terbatas, dan ancaman rumput belalang serta acasia nilotika (yang mematikan rumput alam) juga menjadi masalah.

RUMAH ADAT ROTE

Rumah adat Rote berbentuk rumah panggung. Nama untuk rumah adat Rote disebut di-hak karena bertiang empat, karena fungsinya berbeda maka rumah adat khusus untuk kepala adat /kepala suku mane-feto dinamai di-nek. Secara keseluruhan rumah adat memanjang dari ki (utara) ke kona (selatan) tidak pernah dari timur ke barat. Kelengkapan rumah adat baik di-hak maupun di-nek biasanya dikelilingi dengan pagar batu yang disebut uma kota dale. Bentuk dasar dihak meniru binatang laut dan kerangka ikan hiu.
Rincian rumah adat dihak ialah:
  • Madae -ada degu-degu atau lantai dasar
  • Uma Lai (Panggung dengan lantai papan).
  • Uma Hunuk atau uma tena dale
Bagian inti sebuah dihak terdiri atas 2 bagian yaitu: Sesoik Muki dan sesoik dulu masing-masing berarti tempat tidur dan tempat tidur kanan, digunakan oleh orang dewasa yang belum menikah. Letak sosok itu mengapit pintu masuk, kemudian pada bagian kiri agak ketengah ada uma langgak (tempat menaruh emas, ada pula uma dalek (tempat khusus bagi gadis. Rao yang terletak dekat uma dalek sebelah kanan antara dapur/perapian termasuk tempat bersalin bagi para ibu (dekat api supaya mudah diukup/dimandikan air panas setelah melahirkan, juga da uma tena dalek diantaranya tiang depan dan di inak semacam beranda tengah antara 4 tiang induk.
Rumah adat Rote sangat memperhatikan pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi tempat duduk untuk berbagai jenis kepentingan sehingga perlu dikawal lebih ketat dan itu karena ada sesoik di kiri dan pintu. Perlindungan wanita juga terlihat cara memasang kayu melintang pada atap yang disebut spar demi keamanan fungsi wanita pada umumnya. Dalam pembangunan rumah adat sangat diperhatikan letak kayu/spar dodoik ana mak (Spar anak Yatim) fungsinya untuk mencegah bakal orang tua yang meninggal dan rumah yang dihuni anak yatim piatu. Kemudian ada spar khusus do doik teta inak (spar keamanan si ibu) untuk mencegah meninggalnya sang ibu dan spar de doik lela touk (keamanan laki-laki fungsi untuk tolak bala.

PELAPISAN SOSIAL

Dalam masyarakat Rote dikenal kelompok marga yang disebut Leo dan kepala marganya disebut mane leo. Disamping marga tersebut ada keluarga batih, uma lo (seasal dan lahir dari satu kandungan) = uma isi, yang artinya seisi rumah.
Strata atatu pelapisan sosial terdapat pada setiap leo, sehingga lapisan atas yaitu mane leo (leo mane) yang menjadi pemimpin suatu klen didampingi oleh leo fetor (wakil raja) yang merupokan jabatan kehormatan untuk keluarga isteri mane leo. Berbeda dengan pelapisan di pulau Timor umumnya fetor berada dibawah manek, maka di Rote Manek dan Fetor hanya dibedakan dalam pembagian tugas dan fungsi. Fungsi mane leo untuk urusan yang sifatnya spiritual, sedangkan fetor khususnya untuk urusan duniawi.
Penamaan untuk perangkat pembantu mane leo ialah mane sio langgak dan lasin-lasin yang memimpin atau mengkoordinir suatu wilayah yuridis tertentu. Tugas para pembantu mane leo adalah mengatur kerja gotong royong, tuu belis, pesta nikah, kematian, membangun rumah pesta adat.
Pada tingkat leo selain mane leo yang bertugas khusus memimpin dan melaksanakan tugas kepemerintahan, maka tugas-tugas pengurusan tanah diserahkan pada dae langgak, sedangkan imam upacaranya disebut mane songo, dan peradilan dipimpin oleh manek doko.

ADAT PERKAWINAN

Perkawinan dalam adat masyarakat Rote Ndao ada mempunyai ungkapan; idufula tangga bunak do mata pao pidu pila (yang berarti kecantikan seorang wanita berhidung putih, berkulit terang, rambut seperti mayang padi, betis seperti telur burung).
Gadis yang dipilih harus pandai menenun sarung lambing mampu berumah tangga, mengurus sendiri dalam ungkapan; lima boa nee feo, do biti boa manu tolok. Wanita itu juga harus memiliki sifat sosial terhadap semua orang, pandai menghemat mengatur uang tercermin dalam ungkapan; sudi babauk do heu dedenak.
Ada ungkapan untuk mencari istri sbb;
Tu titino
Sao mamete
Tu sangga duduak
Sao sangga safik
Fo ana tea bae nggi leo
Mba ana kula huba babongkik
Artinya;
Kawin selidiki baik-baik
Kawin harus diteliti
Kawin untuk mecari pikiran yang sama
Kawin untuk menyatukan hati
Agar dapat mempersilahkan siri kepada
Kerabat dan handai tolan
Tahapan perkawinan;
(1) Tahap meminang disebut mbotik
(2) Jika diterima masuk tahap kedua perundingan belis
(3) Tahap terang kampung
(4) Tahap pengumpulan belis dilingkungan pria dengan keluarganya yg disebut tuu belis
(5) Pembayaran belis oleh keluarga pria terhadap keluarga wanita
(6) Pengukuhan perkawinan adat atau natudu sasao
(7) Pengantin wanita diantar ke rumah lelaki yang disebut dode.

KESENIAN

Tarian Teotona Rote Ndao

Tarian ini berasal dari kerajaan Oenale di Rote. Tarian ini termasuk tarian sacral dalam menyambut kaum pria yang kembali dari medan perang.
Pria dan wanita bersama-sama menunjukan kegembiraannya dengan menari secara ekspresif.
Sasando, Alat Musik Khas Rote
Fungsi musik sasando gong dalam masyarakat pemiliknya sebagi alat musik pengiring tari, menghibur keluarga yang sedang berduka, menghibur keluarga yang sedang mengadakan pesta, dan sebagai hiburan pribadi. Sasando gong yang pentatonis ini mempunyai banyak ragam cara memainkannya, antara lain : Teo renda, Ofalangga, Feto boi, Batu matia, Basili, Lendo Ndao, Hela, Kaka musu, Tai Benu, Ronggeng, Dae muris, Te'o tonak.
Ragam-ragam tersebut sudah merupakan ragam yang baku, namun dengan sedikit perbedaan ini dikarenakan :
(a). Rote terdiri dalam 18 Nusak adat dan terbagi dalam 6 keamatan. Dengan sendirinya setiap nusak mempunyai gaya permainan yang berbeda-beda. (b). Perbedaan-perbendaan ini dipengaruhi oleh kemampuan musikalis dari masing-masing pemain sasando gong. (c). Belum adanya sistem notasi musik sasando gong yang baku.

SASANDO

Sasando pada mulanya menggunakan tangga nada pentatonis. Diperkirakan akhir abad ke-18 sansando mengalami perkembangan sesuai tuntutn zaman, yaitu menggunakan tangga nada diatonis. Sasando diatonis khususnya berkembang di Kabupaten Kupang.

   
Alat Musik Sasando dari Pulau Rote
Jumlah dawai yang digunakan oleh sasando diatonis bervariasi yaitu, 24 dawai, 28 dawai, 30 dawai, 32 dawai, dan 34 dawai. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya yaitu kira-kira 1960 untuk pertama kalinya sasando menggunakan listrik. Ide ini datang dari seorang yang bernama Bapak edu Pah, yaitu salah seorang pakar pemain sasando di Nusa Tenggara Timur.

Related Posts

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments