Museum Bahari Ende |
Museum Bahari Ende terletak di Jalan Mohamad Hatta, Desa Kota Raja, Kabupaten Ende Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sejak diresmikan pada 14 Agustus 1996, museum ini memiliki koleksi lebih dari 22.000 spesies, di antaranya 1.000 spesies kerang laut dan 300 spesies ikan.
Museum Bahari karena adanya kreativitas tokoh Goran SVD Pater Gabriel. Cikal bakal museum berawal dari hobinya yang sedikit demi sedikit akhirnya mampu mengoleksi jenis koleksi hingga jumlahnya mencapai puluhan ribu keping.
“Hal yang takan terlupakan adalah ketika saya menemukan keong Oliva. Warnanya sangat indah. Setelah membandingkan satu rumah dengan rumah lain, warnanya beragam. Dari situ saya senang mengoleksinya sejak tahun 1981,” kata Romo Goran.
Biota laut yang menjadi daya tarik utama adalah Museum Bahari moluska, kerang laut, tiram, gurita, cumi-cumi, sotong, dan sebagainya. Ada juga berbagai jenis ikan dan kerang, seperti udang, rajungan, dan rajungan.
Selain itu, ada juga Echinodermata, teripang dan bulu babi kemudian, reptil penyu, kura-kura, komodo, biawak, dan iguana. Ditemukan juga alga, rumput laut, dan tumbuhan laut lainnya, serta koral, pecahan koral laut terutama ditemukan akibat penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak. Koleksi pribadinya itu selain temuan tersebut, sebagian berasal dari partisipasi masyarakat.
Koleksi Museum Bahari banyak yang berasal dari Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, yang merupakan tempat kelahiran Romo Goran. Ia lahir di desa nelayan Tagawiti pada tanggal 14 April 1941, kemudian ditahbiskan menjadi imam pertama di wilayah Ile Ape pada tanggal 31 Juli 1971. Sehari-hari SVD Pater Gabriel Goran Goran dipanggil Ayah. Ayah sering digantikan sebagai pendeta atau pendeta oleh agama Katolik.
Salah satu jenis koleksi unik di Museum Bahari adalah sapi putri duyung yang diyakini telah punah sejak 50 tahun lalu. Warga menemukan putri duyung itu pada tahun 2000 di Pulau Koa, Ende. Diperkirakan, hingga saat ini babi duyung yang masih bisa ditemukan di perairan Kabupaten Flores Timur.
“Karena perhatiannya besar ke laut, kalau ke tempat rekreasi bersama saudara-saudara (bahasa latin = saudara, untuk calon pendeta) saya sering diajak ke pantai Lembata. kerang hasil kreasi berserakan di pantai,” kata Romo Goran yang menjadi yatim piatu saat duduk di bangku kelas empat SD, dan menjadi yatim piatu saat duduk di kelas delapan.
Tercetus ide untuk membangun museum sekitar tahun 1990 ketika jenis koleksi laki-laki lulusan Seminari St. Paul Ledalero, Maumere, Sikka, itu memenuhi ruangan di Biara St. Joseph, Ende. Di sini dia tinggal sehari-hari dan sesekali mengajar di Panti Asuhan Nuansa Cinta, di kota yang sama. Jarak antara St. Joseph Convent dan Museum Bahari hanya sekitar 500 meter.
Usaha itu dibantu berdirinya museum mahasiswa teknik dari Universitas Delft Holland Indonesia, bagia Suwira. Suwira saat melakukan kerja nyata di kampus Flores meneliti kerusakan akibat gempa 12 Desember 1992.
Melihat begitu banyaknya jenis koleksi Pater Goran, Suwira memasukkan koleksinya dalam pameran di Belanda sebanyak 250 gantungan kunci siput Oliva, dan 30 lembar dari anyaman dasi yang terbuat dari bahan khas Ende yang biasa disebut Lio. Dari pameran tersebut akhirnya diperoleh hasil penjualan sebesar Rp 1,65 juta.
Sebagian besar uang diserahkan kepada organisasi Goran Pater di Belanda sebagai bekal. Setelah disosialisasikan rencana pendirian Museum Bahari, terkumpul dana sebesar Rp 26 juta.
Dengan modal itulah museum dibangun. Dewan Provinsi SVD (Societas Verbi Divini atau Sabda Ilahi) Ende memutuskan untuk membangun gedung dan mengambil isi gedung, sedangkan Pemerintah Ende menyediakan tanah. Bupati Ende, Museum Bahari Waktu Frans Gedowolo, diresmikan tahun 1996.
MUSEUM KELOLA
Dari kecintaan terhadap laut, bersama Pater Goran Kalianus Nusa Nipa menulis buku Kekayaan Laut dan Museum Bahari. Dalam beberapa catatan Pater Goran disebutkan, tujuan didirikannya museum tersebut dilatar belakangi fakta bahwa NTT merupakan wilayah kepulauan dan sebagian besar wilayah lautan mengandung berbagai macam bentuk, ukuran, warna, dan jenis biota yang perlu dilestarikan. secara profesional.
Selain itu, di Timor Barat, khususnya Ende, belum ada juga museum yang mengkoleksi biota laut. Museum ini juga dimaksudkan untuk mendukung ilmu pengetahuan dan menjadi sumber informasi dan pusat studi kelautan, khususnya bagi generasi muda.
Goran Pater juga sedang menyiapkan naskah buku yang berisi drama laut. Karakter dalam lakon itu dipilih dari hewan laut.
"Dalam enam bulan terakhir saya tidak bisa menahan keinginan kuat untuk menulis hingga kini telah rampung dalam bentuk manuskrip yang ditulis empat lakon dan beberapa puisi. Begitu juga dua tulisan drama dari dua bersaudara," ujarnya.
Ia berencana membuat buku untuk anak-anak. Menurut Romo Goran, pesan tentang laut dalam bentuk puisi, lagu, atau drama, akan lebih menarik dan mudah diterima anak-anak.
0 Comments