Potensi Warisan Budaya yang terdapat di
Kabupaten Ngada Provinsi Nusa Tenggara Timur sangat banyak dan beragam
dari masa Prasejarah, Islam, hingga masa Kolonial. Benda, bangunan,
struktur, lokasi, dan satuan ruang geografis tersebut belum semuanya
dapat diinventarisasi dan dokumentasi secara menyeluruh untuk diusulkan
sebagai Cagar Budaya melalui proses penetapan. Keanekaragaman potensi
cagar budaya di Kabupaten Ngada merupakan suatu indikator/petunjuk agar
segera dilakukan upaya-upaya pelestariannya. Sehubungan dengan hal
tersebut, maka BPCB Gianyar merealisasikan program inventarisasi Warisan
Budaya/Cagar Budaya sebagai awal langkah bagi kelestariannya. Kegiatan
inventarisasi cagar budaya di Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara
Timur, dimaksudkan untuk menghimpun data yang meliputi jumlah, bentuk,
jenis bahan, ukuran dan kondisi yang lebih akurat sebagai dasar dalam
rangka menyusun daftar Induk Inventarisasi Cagar Budaya di Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Sedangkan tujuan kegiatan ini adalah untuk menyediakan
data sebagai petunjuk awal bagi masyarakat luas dan khususnya masyarakat
Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk dapat menyadari
potensi Warisan Budaya atau Cagar Budayayang ada.
Kegiatan Inventarisasi Warisan Budaya di
Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur ini dilaksanakan pada
tanggal 23 s/d 29 Juni 2014, melibatkan sebuah tim yang beranggotakan 6
orang antara lain ; Drs. I Wayan Gede Yadnya Tenaya, I Nyoman Adi
Suryadharma,S.S, Anak Agung Sugiarta, I Gst. Agung Gede Artanegara,
S.Kom, I Made Agus Sugiharta, dan I Made Bawa. Adapun sasaran dalam
kegiatan Inventarisasi Warisan Budaya di Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa
Tenggara Timur adalah :
- Warisan Budaya di Kecamatan Riung (Majid Tua dan Gereja Tua)
- Warisan Budaya di Kecamatan Golewa (tinggalan Tradisi Megalitik Bekas Kampung Wogo/Kampung Wogo Lama)
- Warisan Budaya di Kecamatan Aimere (Kampung Tradisional Belaragi)
1. Warisan Budaya di Kecamatan Riung
A. Gereja Tua Riung
No Inventaris : Situs : 3/16-12/STS/01, Bangunan : 2/16-12/BNG/01
Lokasi : Kampung Riung, Desa Sambinasi,
Kelurahan Benteng Tengah,Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada. pada titik
koordinat : 51 L 0282125; 9067147 UTM, dengan ketinggian 50 meter Dpl.
Batas-batas bangunan, di sebelah utara:
tanah ladang, di sebelah selatan: tanah ladang, di sebelah timur:
pemakaman (kuburan), dan di sebelah barat: tanah ladang dan pemukiman.
Ukuran Bangunan : panjang : 12,80 meter, lebar : 9, 40 meter, dengan luas lahan : Panjang: 32 meter, lebar 28,50 meter
Deskripsi : Areal lahan berbentuk persegi
empat memanjang ke belakang, berpagar tanaman pohon jarak. Banguan
Gereja Tua ini dengan pondasi berbentuk huruf ‘T’,menghadap ke barat
(kompas). Bagian depan dengan satu pintu masuk dan satu pintu samping
pada bagian belakang pada sisi kanan. Bangunan ini telah ditambah dengan
serambi beratap seng bertiang pipa besi. Bagian sisi samping kanan dan
kiri dengan lubang jendela tanpa kusen berbentuk segi tiga berjumlah
tiga buah. Bagian interior bangunan dengan konstruksi tiang berjumlah
delapan buah. Tiang penyangga bangunan berbentuk melengkung membentuk
satu titik bubungan atap. Ruangan dalam berbentuk sebuah aula. Lantai
ruangan sebagian dengan PC dan sebagian lagi memakai keramik khusus pada
bagian mimbar. Pada bagian tengah-tengah sisi kanan dan kiri ruangan
aula dibuat persegi menjorok keluar. Gereja ini didirikan pada masa
penjajahan Belanda tahun 1942, dan telah direnovasi kembali pada tahun
1995 dengan mengganti beberapa atap seng yang lama dengan bahan atap
seng yang baru.
B. Masjid Tua Nurul Janah
No Inventaris : Situs : 3/16-12/STS/02, Bangunan : 2/16-12/BNG/02
Lokasi : Kampung Riung, Desa Sambinasi,
Klurahan Benteng Tengah, Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada. pada titik
koordinat : 51 L 0282220, 9067233 UTM, dengan ketinggian 44 meter Dpl.
Batas-batas bangunan, di sebelah utara : ladang, di sebelah selatan :
ladang, di sebelah timur : ladang dan jalan raya, di sebelah barat :
ladang dan pemukiman penduduk. Luas lahan : Panjang: 100 meter x 25
meter, dengan ukuran Bangunan : panjang: 16,25 meter , lebar: 15,60
meter
Deskripsi : Bangunan Masjid Tua ini
berbentuk persegi empat panjang. Bagian luar ruang utama memakai serambi
keliling. Pada bagian belakang merupakan ruang mimbar dibuat
menjorok ke belakang sehingga serambi belakang menjadi terpotong. Bagian
atap bangunan memakai atap tingkat dengan empat bubungan. Bagaian dalam bangunan penyangga atap memakai tiang berjumlah 16 buah berbahan kayu mbisar.
Konstruksi tiang bangunan menggunakan sambungan dengan sistem pasak.
Tiang-tiang banguan berbentuk silindris tanpa diserut tetapi dengan
sebatang kayu yang hanya dikelupas kulitnya saja, di sebelah kanan
masjid juga telah tersedia tempat Wudu. Masjid ini didirikan 1916 oleh
Ence Tayeb dari Bima (Melayu) bersamaan dengan dibangunannya rukun sallat,
dan yang membawa Islam ke Riung adalah almarhum Kramat Riung pada tahun
1917 dengan julukan Anak Susunabi dengan memperkenalkan Sahadat tentang
perkawinan dan penguburan mayat. Dan Kraeng pada zaman sekarang sejajar dengan Camat.
Jarak antara Gereja Tua dengan Masjid Tua berdekatan, dan berada di dalam satu pemukiman penduduk.
2. Warisan Budaya di Kecamatan Golewa (tinggalan Tradisi Megalitik Bekas Kampung Wogo/Kampung Wogo Lama)
Situs Tradisi Megalitik (Ture) Wogo LamaNo Inventaris Situs : 3/16-12/STS/03, Struktur : 4/16-12/STR/01 s.d. 4/16-12/STR/26
Lokasi : Kampung Wogo, Desa Rato Gesa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, pada titik koordinat 51 L 0285962; 9022007 UTM, dengan ketinggian 1.122 meter Dpl.
Batas-batas situs, di sebelah utara : kebun bambu, dan jalan raya, sebelah selatan : semak-semak, sebelah timur : ladang; sebelah barat : ladang.
Luas situs : kurang lebih 1,5 Ha.
Jenis situs : bekas kampung adat (tradisi megalitik)
Jumlah struktur : dua puluh enam (26) buah
Bahan : terbuat dari batu alam
Deskripsi : Sebelum ditinggalkan oleh
masyarakat pendukungnya pada mulanya situs ini merupakan perkampungan
dan rumah adat warga Wogo. masyarakatnya migrasi menempati ruang baru dengan nama perkampungan Wogo Baru. Situs Wogo Lama
berada pada sebuah hamparan lahan datar dengan dikelilingi dengan lahan
ladang pertanian. Lahan situs dengan bentuk persegi empat memanjang.
Struktur bangunan berada di tengah-tengah, dan di pinggir sepanjang
areal, menyebar dan tidak beraturan. Setiap bangunan struktur memiliki
kesamaan/kemiripan artefak yakni terdiri dari meja altar dan dengan batu
atau serpihan batu berdiri (menhir) yang disebut dengan nama Ture (bahasa lokal) oleh masyarakat. Pada pinggir areal tersusun serpihan-serpihan batu yang berfungsi sebagai pembatas situs.
saat ini tata batu, meja altar (dolmen) dan menhir
tidak difungsikan lagi, karena masyarakat pendukungnya sudah berpindah
tempat dan membuat perkampungan baru dengan konsep yang masih berlanjut.
saat ini kampung wogo baru dijadikan salah satu objek daya tarik wisata
di Kabupaten Ngada.
Kampung Adat Belaraghi
No Inventaris : Situs 3/16-12/STS/04
Lokasi : Kampung Bela Baru, Desa Keligejo, pada titik koordinat 51 L 0267395,9025726 UTM, dengan ketinggian 474 meter Dpl.
Luas situs : panjang 180 meter, lebar 36 meter.
Jenis situs : kampung adat terdiri dari tiga puluh (30) buah rumah adat
Bahan : kayu, bambu, alang-alang serpihan batu alam.
Deskripsi : Kampung Adat Bela Ragi berlokasi pada lereng bukit Bela Ragi.
Akses kendaraan roda empat untuk mencapai lokasi ini hanya sampai di
desa paling bawah, karena kondisi jalan berbatu, mendaki, dan belum
beraspal. Kampung Adat Bela Ragi berbentuk memanjang, datar, dan naik ke
arah perbukitan. Batas-batas kampung adat: di sebelah kanan dan kiri
berupa lereng perbukitan; di depan kampung adalah jalan utama; dan di
belakang kampung adalah lahan pertanian dengan jalan setapak menuju
bekas kampung lama (Bela Ragi Lama) di puncak bukit. Kampung
adat Bela Ragi lokasi aslinya adalah di puncak bukit Bela dengan tradisi
megalitiknya. Karena terjadi musibah kebakaran pada tahun 1950-an,
mereka berpindah ke lokasi yang mereka tempati sekarang. Kampung ini
dengan posisi arah memanjang dengan orientasi timur laut – barat daya
sepanjang 180 meter.
Pola penempatan rumah adat adalah
berhadap-hadapan. Satu deret berada di sisi kanan dan satu deret berada
di sebelah kiri. Di tengah-tengah perumahan merupakan ruang aktivitas
dalam kegiatan adat, dan sekaligus berfungsi sebagai jalan keluar-masuk
perkampungan. Bangunan-bangunan yang ada dalam ruang perkampungan
sebagai berikut.
- Rumah keluarga (lina maksa) atau suku. Kampung adat Bela Ragi dihuni oleh tiga suku adat yakni suku belah, bawa, dan Fu’i. Dengan demikian, satu atau beberapa rumah adat adalah berasal dari satu komunitas suku. Masing-masing rumah adat memiliki nama-nama yang berbeda, diantaranya adalah kaka, sapu, sa ‘olobo, ka kafu’u, ka’kalobo, dan sa’odoro. Bangunan rumah bagi mereka yang masih anak-anak (sa’odoro) secara khusus disiapkan oleh orang tuanya yakni sebuah rumah dengan nama rumah pengembangan yang dipersiapkan bagi mereka sebelum memasuki jenjang berkeluarga. Setelah mereka berkeluarga barulah mereka menempati rumah adat yang lebih besar. Konstruksi rumah adat Bela Ragi seluruhnya dengan bahan alami seperti: kayu hutan, alang-alang, dan bambu. Desain rumah adat Bela Ragi adalah rumah panggung. Sebuah rumah adat teridiri dari bagian kaki, badan dan atap. Bagian kaki memakai tiang-tiang dengan sistem sangga. Bagian badan rumah menggunakan beberapa tiang dengan sistem pasak. Dinding luarnya memakai papan berkait. Bagian depan atau serambi memakai dua sampai empat tiang kayu. Bagian atap memakai alang-alang atau rumbia, membentuk persgi empat makin ke bawah makin melebar . Bentuk atap berbentuk limas tetapi bagian bubungan atas horizontal. Bagian serambi depan memakai atap bambu dibelah dua dengan sistem kait bolak-balik. Beberapa simbol penting yang harus ada pada rumah adat ini sesuai dengan kepercayaan adat Bela Ragi antara lain: a). patung manusia laki-laki. Patung itu terletak pada bagian tengah-tengah bubungan atas. Patung ini adalah sebagai simbol dari leluhur laki-laki suku adat mereka. b). miniatur rumah. Miniatur rumah ini juga terletak di tengah-tengah di atas bubungan atap rumah adat. Menurut kepercayaan mereka, miniatur rumah ini adalah sebagai simbol dari roh leluhur suku adat perempuan mereka. c). serpihan serabut kelapa yang ditusuk dengan bilah-bilah bambu menyerupai huruf ‘Y’ adalah simbol dari aksesoris/perhiasan yang digunakan oleh leluhur mereka.
- Tiga buah bangunan bertiang satu beratap mengerucut dengan nama Ngadu, terdiri dari Lato, Kosi, dan Wali. Bangunan ini adalah merupakan simbol dari masing-masing kepala suku yang ada dalam kampung Bela Ragi. Sedangkan bangunan bhaga juga berjumlah tiga buah berada di depan kampung. Bangunan ini adalah sebagai simbol dari wanita penghuni kampung adat Bela Ragi. Bangunan tersebut terdiri Cawa, Lusi, Tolu. Kedua bangunan rumah ini baik Ngadu maupun Cawa, Lusi, Tolu, merupakan simbol adat, yang difungsikan dalam aktivitas upacara Reba yang dilaksanakan setiap setahun sekali pada bulan Februari.
- Struktur tradisi megalitik tata batu (Watu Lanu/Ture), berada di depan simbol kepala suku laki-laki. Struktur tradisi megalitik ini berfungsi sebagai sebagai tempat berkumpulnya para kepala adat, sebagai tempat memotong hewan kurban dalam pelaksanaan upacara penghormatan kepada roh leluhur (reba), upacara pesta rumah, yakni upacara yang dilaksanakan dalam membangun rumah adat, mulai dari menebang kayu sampai selesai dan siap ditempati. dan pesta kematian, yakni pesta dan upacara yang dilaksanakan bilamana salah satu dari warga mereka meninggal. Dalam kampung adat ini terdapat dua buah Ture.Ture, dengan ukuran: panjang 8 meter, dan lebar 2, 20 meter. Ture dibuat dari serpihan batu-batu alam terdiri dari dua bagian, yakni bagian bidang datar berbentuk persegi empat panjang, dan bagian sandaran atau dinding dibentuk dengan menata serpihan batu berjejer ke samping. Ukuran: panjang 4 meter, lebar 2,30 meter, tinggi 40 cm.
0 Comments